Mata Pena Bersama Abah Ihsan: Merawat Fitrah Anak di Era Digital

By adminbj

Pada Ahad siang, 22 Juni 2025, ruang connecting SD Islam Bintang Juara terasa lebih hangat dari biasanya. Sekitar 50 Ayah Bunda berkumpul dalam sebuah forum istimewa bertajuk Mata Pena (Majelis Tsaqofah Pengasuhan Anak), yang menghadirkan narasumber ternama dalam bidang parenting Islami, Abah Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari.

Kegiatan ini terselenggara atas kolaborasi Sekolah Islam Bintang Juara bersama Komunitas Yuk Jadi Orang Tua Shalih (YUKJOS) Chapter Semarang. Dilaksanakan tepat usai webinar bertema “Bekal Anak Menuju Era Digital” bersama Bapak Mustafa, S.T., M.M., M.Kom. tuntas dilaksanakan.

Menariknya, agenda ini berlangsung secara spontan. Kabar kedatangan Abah Ihsan ke Semarang baru diterima sehari sebelumnya, namun semangat belajar para orang tua membuat acara ini tetap terlaksana dengan penuh antusias. Tak hanya dihadiri wali murid Sekolah Islam Bintang Juara, peserta juga datang dari kalangan umum yang tergabung dalam komunitas YUKJOS.

Tak heran jika kedatangan Abah Ihsan disambut antusias. Selain karena kegiatan ini tidak berbayar, Abah Ihsan merupakan narasumber pengampu Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) yang rutin diadakan oleh Sekolah Islam Bintang Juara setiap dua tahun sekali.

Tentunya ilmu dari Abah Ihsan sangat dinantikan karena bertepatan dengan awal liburan sekolah. Sebagian besar orang tua merasa membutuhkan bekal ruhiyah agar dapat mendampingi anak selama liburan.

Menjaga Fitrah Belajar Anak di Tengah Tantangan Zaman

Dalam sesi yang akrab dan penuh renungan, Abah Ihsan mengajak para orang tua untuk kembali merenungi esensi pengasuhan: menjaga fitrah belajar anak. Menurutnya, tugas orang tua bukan menjejali anak dengan pengetahuan, tetapi membantu anak mencintai dan terampil dalam belajar. Sebab, tak ada yang bisa memprediksi ilmu macam apa yang dibutuhkan anak kelak. Yang penting adalah kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi.

Beliau mengungkapkan bahwa cara berpikir anak sangat dipengaruhi oleh kondisi otaknya yang bekerja dalam tiga lapisan:

  • Survival State (Brain Stem): “Apakah aku aman?”
  • Emotional State (Limbic System): “Apakah aku dicintai?”
  • Executive State (Prefrontal Cortex): “Apa yang bisa kupelajari dari ini?”

Sayangnya, banyak orang tua masih terlalu sering menggunakan pendekatan direct speech, yaitu langsung menyuruh atau melarang, tanpa membangun proses berpikir anak. Padahal, pendekatan non-direct speech, seperti observasi visual, bertanya, dan memberikan waktu berpikir, justru dapat mengaktifkan otak berpikir anak. Terlalu banyak intervensi fisik atau bantuan juga akan membuat anak kehilangan daya juangnya.

Ayah Bunda bisa membaca artikel Lima Kontinum Pijakan untuk mendapat inspirasi cara berkomunikasi dengan kakak shalih-shalihah dalam mendampingi proses belajar mereka.

Tantangan Dunia Modern: FOPO, FOMO, dan YOLO

Abah Ihsan juga menyinggung tentang fenomena FOPO (Fear of People’s Opinion), FOMO (Fear of Missing Out), dan YOLO (You Only Live Once) yang banyak membingkai kehidupan generasi muda saat ini. Beliau mengingatkan bahwa ketiga hal ini bisa mengaburkan arah hidup jika tidak diimbangi dengan spiritualitas dan kecerdasan berpikir.

Tak kalah penting, Abah menyoroti bahwa umat Islam kehilangan produktivitas karya karena rendahnya kemampuan berpikir. Ia menekankan bahwa berpikir cerdas dimulai dari komunikasi cerdas antara orang tua dan anak. Contohnya, alih-alih berkata “Taruh tasmu di tempatnya!”, orang tua bisa berkata, “Ibu melihat tas tergeletak di lantai. Apakah sudah berada di tempat yang seharusnya?”

Spiritualitas dan Religiusitas: Dua Hal yang Harus Selaras

Dalam bagian reflektifnya, Abah Ihsan mengingatkan bahwa spiritualitas dan religiusitas tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Orang yang religius tanpa spiritualitas akan mudah mencela dan merasa paling benar. Sebaliknya, spiritualitas tanpa dasar agama yang kokoh dapat menjadikan seseorang tersesat arah.

Keseimbangan keduanya adalah kunci untuk membentuk karakter anak yang utuh. Itulah mengapa tugas guru dan orang tua sangat penting dalam membimbing, bukan sekadar mengajar.

Membangun Anak yang Tangguh, Bukan Sekadar Patuh

Abah Ihsan membedakan antara konsekuensi dan hukuman. Konsekuensi adalah dampak alami dari tanggung jawab yang tidak dijalankan, dan ini penting dikenalkan pada anak sejak dini. Anak juga perlu dikenalkan pada perbedaan antara kebutuhan dan kesenangan. Misalnya, main gadget adalah kesenangan, bukan kebutuhan. Jika dilakukan terus-menerus, maka nilainya justru akan berkurang.

Beliau menegaskan bahwa yang harus dibangun adalah kemampuan bertanggung jawab, bukan hanya disiplin kosong. Rasa malu harus lebih dulu ditanamkan sebelum taat syariat, karena malu adalah benteng awal dari kontrol diri.

Peran Orang Tua: Bukan Hanya Terlibat, Tapi Harus Lekat

Abah Ihsan juga menekankan pentingnya kedekatan emosional antara orang tua dan anak. “Terlibat saja tidak cukup,” ujarnya, “Karena orang tua bisa saja hadir secara fisik namun tidak terkoneksi secara emosional.

Kelekatan (attachment) inilah yang menjadi landasan regulasi emosi dan kematangan sosial anak. Bila anak mulai sering berdebat dan menolak nasihat, itu bisa jadi tanda bahwa kelekatan mulai menurun, dan orang tua perlu mengembalikan keakraban dengan lebih banyak bercengkrama dan mendengarkan, bukan sekadar menuntut.

Menyemai Perubahan, Satu Keluarga Sekaligus

Sebagai penutup, Abah Ihsan mengingatkan bahwa pendidikan anak bukan tentang menghasilkan anak sempurna, tetapi tentang menyiapkan mereka menjadi manusia bertanggung jawab dan penuh makna. Anak-anak yang mampu menunda kesenangan dan memahami tanggung jawab akan lebih siap menghadapi dunia nyata.

Kegiatan Mata Pena ini meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta. Di tengah cepatnya perubahan dunia, forum ini menjadi ruang jeda yang menguatkan kembali visi bersama: mendidik anak-anak dengan cinta, akal sehat, dan kesadaran spiritual.*** (CM – MRT)

Leave a Comment